Pengaruh
Agama Babel Kuno terhadap Kepercayaan Yahudi
Orang-orang
Yahudi telah mendapat banyak pengaruh dari
filsafat timur ketika mereka berada di Babel, dan sudut pandang teologi
mereka telah mengalami banyak perubahan besar karena integrasi kebudayaan ini. Kita
menemukan mitologi dalam kitab Pengkhotbah (12:2-6), Amsal, dan beberapa nabi
sesudahnya, suatu filsafat yang tadinya tidak diketahui orang Yahudi sebelum
penawanan di Babel, yang berasal dari berbagai bangsa di belahan bumi timur.
Dari filsafat timur itu mereka menyerap banyak ide, misalnya ide tentang Tuhan
yang digambarkan sebagai sosok terang dan setan yang digambarkan sebagai sosok
kegelapan, ide tentang neraka dan firdaus (sorga) yang memiliki banyak
tingkatan. Orang-orang Yahudi menerima ide-ide asing ini tidak hanya dari
kebudayaan Babel, namun juga dari kebudayaan Yunani. Selama kekuasaan Yunani di
Mesir orang-orang Yahudi bergaul erat dengan orang-orang kafir, khususnya di
Aleksandria, dan menambahkan mitologi Mesir-Yunani ke dalam sistem kepercayaan
mereka. Percampuran berbagai filsafat asing ke dalam kepercayaan orang Yahudi
memunculkan perbedaan aliran keagamaan di kemudian hari. Sebab itu pada masa
Yesus aliran keagamaan sudah terbagi ke dalam beberapa sekte, yaitu: Farisi,
Saduki, dan Eseni.[1]
Dalam
pembuangan di Babel orang Yahudi mendengar berbagai ide keagamaan, dan mereka
banyak menyerap ide-ide tersebut. Loraine Boettner menyatakan bahwa agama Babel
dan Asiria kuno mengandung banyak himne, seperti mazmur-mazmur. Beberapa himne
ini merupakan epik keagamaan, seperti cerita tentang Ishtar yang turun ke
dunia orang mati (Hades), dan epik Gilgames, yang memperlihatkan
pengalaman-pengalaman yang berbeda di dunia bawah/neraka. Dari epik-epik ini
terungkap adanya keyakinan orang kafir tentang suatu kehidupan di masa depan.[2]
Secara khusus epik Gilgames dari Babel kuno menceritakan pengembaraan seorang anak raja dari kerajaan Uruk, bernama Gilgames yang memiliki wujud 1/3 manusia dan 2/3 dewa. Kisah Gilgames ini ditulis pada 12 tablet yang ditemukan oleh para arkeolog. Kisahnya terbagi ke dalam dua bagian, yaitu pengembaraan Gilgames dan Enkidu (sahabat Gilgames) dan bagian kedua menceritakan pengembaraan Gilgames dalam misi untuk mencari rahasia hidup kekal selepas mengalami kemurungan akibat kematian Enkidu.[3] Dalam misi untuk mencari rahasia hidup kekal ia berjumpa dengan Utnapishtim dan istrinya, yang berhasil selamat dari banjir yang sangat dahsyat dan diberikan keabadian oleh para dewata. Utnapishtim menceritakan kepada Gilgames tentang sebuah tanaman yang terdapat di dasar laut dan bahwa bila ia memperolehnya dan memakannya, ia akan menjadi muda kembali. Gilgames memperoleh tanaman itu, namun kemudian dicuri oleh seekor ular. Pada akhirnya Gilgames kembali ke Uruk, dan ketika ia melihat dindingnya yang begitu besar dan kuat, ia memuji karya abadi manusia yang fana. Gilgames menyadari bahwa cara mahluk fana untuk mencapai keabadian adalah melalui karya peradaban dan kebudayaan yang kekal.[4]
Dari apa yang dipaparkan di atas, beberapa hal dapat disimpulkan. Yang pertama, epik Gilgames memiliki kemiripan dengan kisah-kisah dalam Perjanjian Lama, seperti cerita Air Bah/banjir besar. Yang kedua, tokoh Gilgames memahami keabadian sebagai hasil karya manusia yang mampu menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang hebat. Ini mungkin yang melatar belakangi alasan Tuhan mengacau balaukan bahasa manusia seperti yang dicatat dalam kisah Menara Babel di kitab Kejadian 11. Yang ketiga, keabadian dalam epik Gilgames tidak berkaitan sama sekali dengan kejadian di akhir zaman (eskatologis) sebab epik ini justru mau mengungkapkan asal-usul hubungan antara manusia dengan para dewata dalam bentuk mitos atau legenda. Jadi kerinduan akan hidup kekal sudah muncul dalam diri Gilgames, namun ia gagal untuk memperolehnya karena tanaman yang akan memberinya hidup kekal itu telah dicuri oleh ular (mirip dengan Iblis yang disimbolkan sebagai ular di Taman Eden).
Secara khusus epik Gilgames dari Babel kuno menceritakan pengembaraan seorang anak raja dari kerajaan Uruk, bernama Gilgames yang memiliki wujud 1/3 manusia dan 2/3 dewa. Kisah Gilgames ini ditulis pada 12 tablet yang ditemukan oleh para arkeolog. Kisahnya terbagi ke dalam dua bagian, yaitu pengembaraan Gilgames dan Enkidu (sahabat Gilgames) dan bagian kedua menceritakan pengembaraan Gilgames dalam misi untuk mencari rahasia hidup kekal selepas mengalami kemurungan akibat kematian Enkidu.[3] Dalam misi untuk mencari rahasia hidup kekal ia berjumpa dengan Utnapishtim dan istrinya, yang berhasil selamat dari banjir yang sangat dahsyat dan diberikan keabadian oleh para dewata. Utnapishtim menceritakan kepada Gilgames tentang sebuah tanaman yang terdapat di dasar laut dan bahwa bila ia memperolehnya dan memakannya, ia akan menjadi muda kembali. Gilgames memperoleh tanaman itu, namun kemudian dicuri oleh seekor ular. Pada akhirnya Gilgames kembali ke Uruk, dan ketika ia melihat dindingnya yang begitu besar dan kuat, ia memuji karya abadi manusia yang fana. Gilgames menyadari bahwa cara mahluk fana untuk mencapai keabadian adalah melalui karya peradaban dan kebudayaan yang kekal.[4]
Dari apa yang dipaparkan di atas, beberapa hal dapat disimpulkan. Yang pertama, epik Gilgames memiliki kemiripan dengan kisah-kisah dalam Perjanjian Lama, seperti cerita Air Bah/banjir besar. Yang kedua, tokoh Gilgames memahami keabadian sebagai hasil karya manusia yang mampu menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang hebat. Ini mungkin yang melatar belakangi alasan Tuhan mengacau balaukan bahasa manusia seperti yang dicatat dalam kisah Menara Babel di kitab Kejadian 11. Yang ketiga, keabadian dalam epik Gilgames tidak berkaitan sama sekali dengan kejadian di akhir zaman (eskatologis) sebab epik ini justru mau mengungkapkan asal-usul hubungan antara manusia dengan para dewata dalam bentuk mitos atau legenda. Jadi kerinduan akan hidup kekal sudah muncul dalam diri Gilgames, namun ia gagal untuk memperolehnya karena tanaman yang akan memberinya hidup kekal itu telah dicuri oleh ular (mirip dengan Iblis yang disimbolkan sebagai ular di Taman Eden).
Perbedaan Keabadian Jiwa dan Tubuh Rohani Menurut Pandangan
Yunani
Filsuf Plato mengajarkan
tentang keabadian jiwa. Ia berargumen bahwa tubuh manusia merupakan pakaian
luar yang dipergunakan selama manusia menjalani hidup di dunia ini. Namun
tubuh itu telah menjadi penghambat bagi jiwa manusia yang ingin bebas. Jiwa
yang terkurung/terpenjara dalam tubuh sesungguhnya berasal dari dunia yang
kekal. Karena itu,
kematian menjadi jalan terbesar bagi pembebasan jiwa dari tubuh. Bagi Plato kematian bukanlah musuh tetapi teman
bagi jiwa manusia.[5]
Hal ini justru sangat bertentangan dengan keyakinan Kristen yang melihat
kematian bukan sebagai teman tetapi musuh yang telah dikalahkan oleh Yesus
melalui kebangkkitan-Nya dari antara orang mati (1Kor. 15:26). Dalam filsafat
Yunani tubuh tidak memiliki arti sama sekali karena ia berasal dari dunia
materi. Dunia materi dianggap sebagai sesuatu yang jahat dan tidak berguna.
Sebab itu tidak pernah terbayangkan dalam pikiran orang Yunani bahwa tubuh yang
fana ini akan mengalami perubahan/transformasi di kemudian hari. Karena
bersifat jasmani, maka tubuh harus binasa/hancur.
Tubuh
rohani sangat berbeda dengan keabadian jiwa. Bagi orang Yahudi tubuh bukanlah
sesuatu yang buruk pada dirinya sendiri. Sama seperti jiwa, tubuh merupakan
pemberian dari Allah, Sang Pencipta. Allah adalah Pencipta segala sesuatu, yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan (termasuk tubuh yang fana ini). Pandangan Yunani tentang keabadian jiwa dan pengharapan
Kristen tentang kebangkitan sangat bertolak belakang karena hal tersebut
berkaitan dengan konsep penciptaan. Penafsiran Yahudi dan Kristen mengenai penciptaan
meniadakan dikotomi antara tubuh dan jiwa. Tubuh bukan merupakan penjara bagi
jiwa, tetapi sebagai bait Roh Kudus/bait Allah (1Kor. 6:19). Tubuh dan jiwa
tidak saling bertentangan dan berlawanan sebagai musuh, sebab semua yang
diciptakan Allah adalah baik adanya (lihat Kejadian 1 dan 2).[6] Meskipun
unsur tubuh akan tetap ada (eksis) pada waktu kebangkitan orang mati, namun
sifat tubuh itu berbeda dari tubuh manusia saat ini. Willi Marxsen
mengungkapkan bahwa eksistensi tubuh rohani sangat bertolak belakang dengan
eksistensi tubuh manusia masa kini.[7]
Mengapa
pandangan Yunani sangat menekankan keabadian jiwa? Pada awalnya, dalam tradisi
puisi Yunani digambarkan adanya perbedaan yang tajam antara manusia dan para
dewata. Manusia disebut sebagai mahluk yang fana
(mortal), sedangkan para dewata bersifat abadi (immortal). Homer
menggambarkan jiwa (psukhe) orang mati merupakan hantu/bayangan tanpa
kesadaran hidup atau aktifitas mental. Jiwa akan meninggalkan tubuh pada saat
hembusan nafas terakhir. Tubuh akan binasa, tetapi eksistensi tubuh yang telah
binasa itu akan terus dikenang melalui nama dan karya orang tersebut. Dalam
perkembangan selanjutnya orang Yunani berkenalan dengan konsep keagamaan dari
agama-agama misteri dan agama Orphik yang sangat menekankan bahwa jiwa manusia
itu berasal dari dunia ilahi dan bersifat abadi.[8]
Konsep pemikiran inilah yang kemudian sangat mendominasi cara berpikir orang-orang
Yunani. Jiwa tidak lain adalah percikan api ilahi yang terkurung dalam tubuh
yang jahat dan akan dibebaskan melalui kematian. Di kemudian hari ide keabadian
jiwa ini diambil juga oleh orang-orang Yahudi, khususnya oleh orang-orang yang terpelajar.
Sebagai contoh adalah Philo, Josephus dan juga kaum Farisi. Ide ini lalu
diintegrasikan dengan ide kebangkitan tubuh yang sudah ada dalam agama Yahudi.[9]
Karena
orang Yunani menolak sama sekali nilai tubuh manusia, maka ide tentang tubuh
rohani, sebagaimana yang diungkapkan Paulus dalam 1 Korintus 15,
sangatlah sukar untuk dipahami atau diterima oleh orang Yunani. Kalaupun ide
ini diterima dengan terpaksa, maka akan muncul penyimpangan-penyimpangan ajaran
sebagaimana yang pernah terjadi dalam sejarah gereja. Ajaran Gnostik atau
Doketis yang menyimpang dari ortodoksi Kristen dapat dilihat sebagai suatu
reaksi penolakan golongan Kristen Yunani terhadap ide tubuh rohani yang
diperkenalkan Paulus pada zamannya.
Kesimpulan
Epik Gilgames belum memperlihatkan
ide kebangkitan orang mati di akhir zaman, namun ada harapan dari tokoh
Gilgames untuk memperoleh hidup kekal sesudah mati. Namun pengertian hidup
kekal yang dipahami Gilgames masih sebatas kehidupan di dunia ini, yaitu
menjadi muda kembali. Dalam
filsafat Yunani terdapat pandangan tentang keabadian jiwa, di mana jiwa
dianggap berasal dari dunia ilahi. Dalam perkembangan selanjutnya ide keabadian
jiwa ini diambil dan dipadukan dengan ide kebangkitan tubuh oleh orang-orang
Yahudi. Paulus memiliki gagasan unik dalam memandang perpaduan antara keabadian
jiwa dan kebangkitan tubuh, yaitu tubuh rohani. Beberapa orang Yunani Kristen memahami gagasan ini secara
berbeda, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang justru bertentangan dengan
ortodoksi Kristen. Mungkin ajaran Gnostik dan Doketis termasuk ke dalam bentuk
pemahaman seperti ini, di mana tubuh kebangkitan Yesus dipahami secara semu
atau tidak nyata oleh penganut ajaran-ajaran ini.
Daftar
Pustaka:
Boettner, Loraine. Immortality. Philadelphia:
The Presbyterian and Reformed Publishing, 1969.
Cullmann, Oscar. “Immortality of The Soul or
Resurrection of The Dead?” Dalam Immortality and Resurrection, peny.
Krister Stendahl, 13-14. New York: The Macmillan Company, 1965.
Jaeger, Werner. “The Greek Ideas of Immortality.”
Dalam Immortality and Resurrection, peny. Krister Stendahl, 97-103. New
York: The Macmillan Company, 1965.
Marxsen,
Willi. The Resurrection of Jesus of Nazareth. Philadelphia: Fortress
Press, 1979.
Segal, Alan F. “Life after Death: The Social
Sources.” Dalam The Resurrection. An Interdisciplinary Symposium on The
Resurrection of Jesus, peny. Stephen T. Davis, Daniel Kendall dan Gerald
O’Collins, 102. New York: Oxford University Press, 1997.
www.dianweb.org/Manusia/neraka4.htm
(diakses 10 Maret 2014).
www.ustatsempoi.blogspot.com/.../epik-gilgamesh-legenda-dan-mitos-raja.html
(diakses 10 Maret 2014).
www.wikipedia.org/wiki/Epos_Gilgames
(diakses 10 Maret 2014).
[2]
Loraine Boettner, Immortality (Philadelphia: The Presbyterian and
Reformed Publishing, 1969), 61.
[3] www.ustatsempoi.blogspot.com/.../epik-gilgamesh-legenda-dan-mitos-raja.html
(diakses 10 Maret 2014).
[5]
Oscar Cullmann, “Immortality of The Soul or Resurrection of The Dead,?” dalam Immortality
and Resurrection, peny. Krister Stendahl (New York: The Macmillan Company, 1965),
13-14.
[6]
Ibid., 21-22.
[7]
Willi Marxsen, The Resurrection of Jesus of Nazareth (Philadelphia:
Fortress Press, 1979), 69-70.
[8]
Werner Jaeger, “The Greek Ideas of Immortality,” dalam Immortality and
Resurrection, peny. Krister Stendahl (New York: The Macmillan Company,
1965), 97-103.
[9] Alan
F. Segal, “Life after Death: The Social Sources,” dalam The Resurrection. An
Interdisciplinary Symposium on The Resurrection of Jesus, peny. Stephen T.
Davis, Daniel Kendall dan Gerald O’Collins (New York: Oxford University Press,
1997), 102.
Sangat baik dan bermanfaat...senang membacanya 👍
BalasHapusSama2. Gbu.
Hapus