RENUNGAN MATIUS 11:25-30
Ciri-ciri Injil Matius
Keunikan
Injil Matius dibandingkan dengan Injil-injil yang lain terletak pada tiga hal.
Yang pertama, Injil ini adalah Injil yang paling banyak digunakan dalam
tulisan-tulisan Kristen awal, khususnya sejak akhir abad pertama. Yang kedua,
jumlah pasal dalam Injil ini merupakan yang terbanyak dari semua Injil yang
lain, yakni 28 pasal. Yang ketiga, Injil ini memiliki keteraturan dalam susunan
bahannya (Suharyo 1993, 75). Keteraturan ini bisa dilihat, misalnya dalam pasal
5-7 (yang berisi Kotbah di Bukit), pasal 8-9 menceritakan
penyembuhan-penyembuhan yang dilakukan Yesus, pasal 13 menyajikan tujuh
perumpamaan yang disampaikan Yesus, pasal 18 memuat bahan-bahan tentang
“peraturan Gereja” (a.l. disiplin Gereja) dll (Heer 1999, 1).
Pemakaian yang cukup populer terhadap Injil
ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Injil ini telah dianggap sebagai “Injil
Gereja”[1],
dan oleh sebab itulah maka Injil ini telah diletakkan pada tempat yang pertama
dalam kanon Perjanjian Baru (Mack 1995, 162). Penempatan pada posisi yang
pertama dalam kanon Perjanjian Baru memang cukup beralasan juga jika dilihat
dari keteraturan isi, dan banyaknya pasal dalam Injil ini. Jika dibandingkan
dengan Injil yang lain (Markus - Lukas) maka jelas terlihat adanya perbedaan.
Perbedaan ini terutama disebabkan oleh adanya kegiatan penyuntingan yang
dilakukan dengan sengaja oleh pengarang, yang bergerak dari suatu titik tolak
teologis tertentu. Menurut Marxsen, pengarang Injil Matius menggunakan Injil
Markus, Q dan sebuah bahan khusus sebagai sumber acuan dalam penyusunan karya
tulisnya (Marxsen 1996, 175). Bahan Q yang dipergunakan Matius ini mengandung
pengajaran-pengajaran Yesus, sedangkan yang dimaksud dengan bahan khusus adalah
bahan yang berasal dari pengarang Injil Matius sendiri; di antara bahan khusus
itu terdapat cerita mengenai kelahiran Yesus, beberapa bagian dari Kotbah di Bukit
(Mat 5 - 7), beberapa perumpamaan dan kisah-kisah penampakan Yesus yang bangkit
(Mack 1995, 162).
Penyuntingan
yang dilakukan pengarang Injil Matius ini telah mengakibatkan perubahan pada
gambaran mengenai sosok Yesus. Yesus dalam Injil Matius digambarkan sebagai
seorang guru dalam tradisi Musa dan Taurat, dan seorang public figure yang mengajarkan etika kesalehan pribadi kepada orang
banyak (Mack 1995, 163). Dengan demikian, pengarang Injil Matius sangat
mengutamakan pengajaran Yesus dalam karangannya. Yesus ditampilkan sebagai
seorang guru/pengajar yang memiliki wibawa di antara orang banyak. Orang
banyak terkesan bukan pertama-tama pada mujizat yang dibuat Yesus, melainkan
pada pengajaran-Nya (Mat. 7:28-29).
Penulis, Waktu Penulisan dan Keadaan Jemaat
Penerima
Drewes
mengungkapkan bahwa kemungkinan besar kitab ini ditulis oleh seorang Kristen
Yahudi[2]
dari Siria dan dialamatkan kepada jemaat yang sebagian besar terdiri atas orang
Kristen Yahudi pula.[3]
Dalam Injil ini Yesus digambarkan sebagai sosok yang menggenapi nas-nas yang
tertulis dalam Perjanjian Lama (Mat. 1:23; 4:15,16). Karena kitab ini sebagian
besar ditujukan kepada orang Kristen Yahudi, maka pengarang tetap memakai
istilah-istilah Yahudi (yang artinya tidak diterangkan lebih jauh karena
menganggap pembaca sudah mengerti), seperti misalnya istilah raka (5:22, terj. LAI “kafir”), Beelzebul
(10: 25), korbanas (27:6; LAI “peti
persembahan”). Dalam kitab ini terdapat
kesan yang kuat bahwa jemaat Kristen telah terlepas atau memisahkan diri dari
sinagoge Yahudi. Misalnya dalam Matius 7:29; 9:35; 23:34 kita membaca tentang
“ahli-ahli Taurat mereka”;
“rumah-rumah ibadat mereka.” Walaupun
sudah terlepas, namun masih ada upaya untuk menerangkan melalui Injil ini bahwa
Yesus adalah Mesias yang menggenapi seluruh rencana Allah Israel. Yesus ialah
Mesias bagi Israel (Mat. 15:24) tetapi juga bagi seluruh umat manusia (Mat. 28:
18-20; 26:13) (Drewes 1999, 175).
Diperkirakan
Injil Matius ditulis pada periode sesudah kehancuran kota Yerusalem pada tahun
70 M. Peristiwa kehancuran ini ditafsirkan Matius sebagai bentuk hukuman Allah
kepada Israel, sebab undangan bagi perjamuan Kerajaan Allah yang ditawarkan
Yesus tidak diterima dengan baik oleh para pemimpin Yahudi (bdk. Mat. 22:7). Kemungkinan besar Injil ini
disusun dalam periode antara Tahun 75-90 M (Drewes 1999, 176).
Menurut
Suharyo, perkembangan gereja mula-mula sangatlah ditentukan oleh dua peristiwa
penting. Dua peristiwa penting itu adalah kehancuran Yerusalem pada tahun 70 M
dan masuknya orang-orang non Yahudi (“kafir”) ke dalam Gereja. Pada tahun 70 M
pasukan Roma menghancurkan Yerusalem dan bait sucinya. Dengan demikian pusat
hidup religius, sosial dan ekonomi orang-orang Yahudi hancur. Para pemimpin
yang dapat menyelamatkan diri dari bencana tersebut kemudian berhasil
mendirikan pusat kehidupan nasional yang baru di Yamnia, yang ternyata sangat
menentukan kelangsungan hidup mereka selanjutnya. Di sanalah berkembang
Yudaisme yang sangat kental, kuat dan fanatik dengan cap Farisi, sementara
kelompok Saduki yang terikat pada bait suci sudah hilang seiring dengan
hancurnya bait suci (bdk. Mat. 23). Bersamaan dengan perkembangan ini hubungan
antara jemaat Kristen dengan Yudaisme semakin renggang. Kekristenan semakin
menampakkan coraknya sendiri. Jemaat Kristen memahami dirinya sebagai Israel sejati,
umat yang diikat oleh Allah melalui perjanjian. Mereka membaca misteri Yesus Kristus
dalam terang Perjanjian Lama, sehingga sampailah mereka pada keyakinan bahwa
Yesus Kristus adalah puncak dan pusat dari sejarah penyelamatan Allah. Selain
itu, pada periode ini kekristenan juga sudah membuka diri terhadap dunia
bangsa-bangsa. Meskipun Injil Matius masih memuat beberapa perkataan yang
memberi kesan partikularistik (bdk. Mat. 10:5 dst; 15:24), namun secara
keseluruhan Gereja sudah meninggalkan sikap itu (bdk. Mat. 28:16-20). Injil
Matius adalah saksi dari sebuah proses di mana tradisi Yahudi-Kristen
meninggalkan ciri partikularismenya. Semakin jelas disadari bahwa kabar
keselamatan Yesus Kristus ditujukan juga bagi semua orang dan dengan itu Gereja
mempunyai ciri universalnya (Suharyo 1993, 79).
Keterbukaan
Gereja dalam menyambut kehadiran bangsa lain dalam persekutuan mereka dan
semakin renggangnya hubungan mereka dengan komunitas Yahudi telah memunculkan gesekan
dan ketegangan antara Gereja dengan komunitas Yahudi. Sebenarnya polemik dan
ketegangan yang terlihat dalam beberapa bagian dalam Injil Matius (Mat.
12:1-13; 12:22-24) merupakan cerminan situasi konflik yang tengah terjadi
antara komunitas Kristen dengan komunitas Yahudi pada masa Matius. Saldarini
mengatakan bahwa kisah Yesus dalam Injil Matius mencerminkan pengalaman konkret
komunitas Matius dan situasi sosialnya. Gambaran konflik antara para pemimpin
komunitas Yahudi dengan Yesus dalam Injil Matius secara tidak langsung
mencerminkan ketegangan hubungan antara komunitas Matius dengan komunitas
Yahudi setempat di mana penulis tersebut hadir. Komunitas Matius merupakan
sebuah kelompok Kristen Yahudi yang tetap memelihara seluruh hukum (Taurat),
tetapi menafsirkannya melalui tradisi Yesus. Matius menganggap dirinya sebagai
seorang Yahudi yang memiliki penafsiran yang benar atas Taurat dan tetap setia pada kehendak Allah sebagaimana
yang diwahyukan oleh Yesus Kristus, yang diberitakannya sebagai Mesias dan Anak
Allah (Saldarini 1991, 39-41).
Dengan
melihat semua penjelasan di atas, sekarang kita dapat mengerti mengapa ada gambaran
negatif yang diberikan penulis Injil ini
kepada para pemimpin Yahudi, khususnya terhadap para ahli Taurat dan orang
Farisi. Dalam Injil Matius, mereka dilukiskan sebagai anak-anak (keturunan)
dari nenek moyang yang selalu menolak para nabi dan sekarang mereka sendiri
menolak Yesus (Mat. 21:38). Puncak dari seluruh polemik antara komunitas Matius
dengan Yudaisme digambarkan dengan jelas dalam Matius 23, di mana seluruh borok
ahli-ahli Taurat dan orang Farisi didaftarkan secara lengkap dan daftar
kejelekan ini segera dapat dipergunakan untuk menghadapi setiap serangan mereka
(Suharyo 1993, 80). Dalam berpolemik
dengan Yudaisme, penulis Injil Matius sangat menekankan keunggulan Yesus sebagai
Mesias-Anak Daud (Mat. 1:1) yang datang untuk mengadakan pembaruan dalam
kehidupan orang-orang Yahudi pada masa itu. Dengan menekankan keunggulan Yesus
sebagai Mesias-Anak Daud, penulis Injil Matius juga bermaksud ingin memberikan
pegangan kepada umat Kristen, sehingga mereka mampu untuk mempertanggungjawabkan
keyakinan imannya di depan orang-orang Yahudi yang telah menyangkal dan menolak
Yesus.
MATIUS 11:25-30
Dalam perikop bacaan ini, kita mendengar
bagaimana Yesus bersyukur kepada Bapa-Nya di sorga (ay. 25). Kata Aku “bersyukur” pada ayat 25 dalam
bahasa Yunaninya adalah eksomologoumai yang
dapat juga berarti “Aku mengakui (memuji).”
Jadi Yesus bersyukur kepada Bapa-Nya. Siapakah
Bapa ini? Dia adalah Allah yang Mahakuasa, Tuhan langit dan bumi. Artinya Dia
adalah Tuhan atau Penguasa (Pemilik) langit dan bumi. Allah yang Mahakuasa itu
menyatakan kehendak-Nya di dalam Yesus bukan kepada orang pandai atau orang bijak/berhikmat,
tetapi kepada orang kecil. Yang dimaksud dengan orang pandai dan
bijak/berhikmat pada zaman itu adalah para ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka
adalah kaum cerdik pandai (cendekiawan) yang setiap saat menyelidiki/menelaah
dan mendiskusikan isi kitab suci. Karena merasa lebih pandai (tahu segala
sesuatu dan punya pengetahuan yang luas tentang isi Alkitab), maka ahli-ahli Taurat dan
kaum Farisi ini tidak mau mendengarkan dan menerima segala pengajaran Yesus.
Mengapa? Sebab Yesus dianggap lebih rendah oleh mereka atau tidak selevel dgn
mereka.
Walaupun pengajaran Yesus ditolak oleh org
Farisi dan ahli Taurat, namun tidak demikian dengan orang kecil. Orang kecil
(Yun: nepios) yang dimaksudkan Injil Matius
ini adalah rakyat biasa. Mereka dianggap tidak terpelajar atau orang yang bodoh
oleh para ahli Taurat. Tetapi justru merekalah yang mau menerima ajaran Yesus
(kata nepios sendiri dapat
diterjemahkan “anak”. Jadi mereka seperti “anak kecil” yang bersedia untuk diajar).
Kepada orang-orang seperti inilah Allah berkenan menyatakan kehendak-Nya. Dengan
jelas Injil Matius menyatakan bahwa Allah menyembunyikan kehendak-Nya kepada
orang-orang bijak, tetapi menyatakannya kepada orang kecil (artinya orang-orang yang
dianggap bodoh atau tidak tahu apa-apa tentang firman Tuhan).
Kehendak Allah yang Yesus ajarkan/nyatakan
itu ditolak oleh orang Farisi. Pertanyaannya: mengapa ajaran Yesus ditolak oleh
orang Farisi? Sebab mereka menganggap diri lebih pintar/pandai dari Yesus.
Itulah kesombongan yang ada pada mereka. Karena merasa lebih pintar, makanya timbul
rasa sombong. Kita sering menyombongkan diri dengan kepintaran, kepandaian,
kemampuan dan kekayaan yang kita miliki. Kesombongan menjadi PENGHALANG untuk datang
kepada Tuhan dan mengenal kehendak-Nya.
Mereka seharusnya jangan menolak Yesus,
tetapi hendaknya mau menerima-Nya. Mengapa? Sebab Yesus adalah Anak Allah yang
telah datang ke dalam dunia ini untuk menyatakan kebenaran Allah bagi manusia.
Ia bahkan bukan hanya menyatakan kehendak Allah, tapi juga memperkenalkan Allah
itu kepada manusia. Yesus adalah kebenaran tertinggi itu. Yesus adalah
Pengantara yang mutlak dalam hal penyataan Allah. Jika ingin mengenal Allah
yang sesungguhnya, maka datanglah dan percayalah kepada Yesus, sebab Yesus dan
Bapa adalah satu (jelas terdapat relasi/persekutuan yang erat antara Yesus dan Bapa
di sorga, lihat ayat 27; bnd. Yoh. 14:9...Yesus berkata: “...Barangsiapa telah
melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa
itu kepada kami”). Penyataan Yesus tentang Allah sudah lengkap dan sempurna. Hanya
di dalam Yesus kita dapat mengenal Allah yang sejati itu, yaitu Bapa yang baik
dan pengasih.
Yesus bukan hanya datang untuk menyatakan Bapa
kepada kita, tetapi Ia memanggil kita agar mengalami sukacita, damai dan
kelegaan dalam hidup ini (sesungguhnya ketika kita menerima Yesus, kita akan
mengalami semua itu). Itu sebabnya pada ayat 28 Ia berkata: “Marilah kepada-Ku,
semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”
Dalam PL Yesus adalah penjelmaan Hikmat Allah yang berseru-seru memanggil manusia (Amsal
8:1; 9:5).
Siapakah mereka yang letih lesu dan berbeban
berat ini? Mereka adalah orang kecil atau rakyat biasa yang telah dibebani oleh
berbagai peraturan hukum Taurat. Ahli-ahli Taurat pada zaman Yesus membuat
peraturan-peraturan agama yang begitu banyak (sekitar 613 aturan), aturan-aturan agama itu telah
menjadi beban bagi rakyat kecil. Beban yang membuat mereka bukan semakin dekat
kepada Tuhan, tetapi justru semakin menjauh. Karena itu, Yesus datang untuk menawarkan sesuatu yang lain, yaitu kuk (sejenis beban juga). Kuk adalah alat
(terbuat dari kayu) yang terpasang pada leher sapi, yaitu hewan yang biasa menarik
bajak di sawah.
Istilah kuk (seperti salib) dipakai sebagai
simbol penyerahan diri, penaklukkan diri dan ketaatan kepada Tuhan. Orang
Yahudi pada zaman Yesus sering memakai istilah kuk ini sebagai lambang
kesetiaan mereka kepada Tuhan (“menerima kuk Tuhan”). Namun kuk yang ditawarkan
Yesus ini bukanlah beban yang akan melemahkan iman kita. Sebaliknya kuk yang
dipasang itu merupakan “beban” yang akan membuat kita nyaman. Kita akan merasa
enak dan ringan. Itu sebabnya di ayat 30 Yesus berkata: “Sebab kuk yang
Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." Itu artinya ketika kita memutuskan
untuk mengikuti Yesus, hal itu jangan menjadi suatu beban yang memberatkan,
melainkan “meringankan” kehidupan kita.
Bagaimana kuk itu bisa menjadi ringan dan
enak? Hal itu tergantung pada hati kita masing-masing. Jika kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan
dengan segenap hati, maka kita tidak akan menganggap segala perintah/tuntutan
Yesus itu sebagai beban yang berat. Kita akan melakukan segala yang
diperintahkan-Nya dengan senang hati, dan bukan dengan berat hati atau
terpaksa. Sebab kita tahu bahwa segala perintah-Nya itu indah, baik dan berguna
bagi dunia ini, makanya kita tidak ragu-ragu untuk melakukannya. Sebuah pepatah
mengatakan: “Kasih membuat setiap beban menjadi ringan.” Kasih adalah inti dari
hukum atau perintah Tuhan Yesus.
Mari kita nyatakan kasih Yesus itu juga kepada
orang lain. Karena itu, kita perlu belajar dari Yesus, yaitu belajar bagaimana
mengasihi orang lain. Yesus adalah Pribadi yang baik hati, lemah lembut dan
rendah hati/tidak sombong. Ia lembut dan baik hati kepada setiap orang,
khususnya orang-orang yang hina dan berdosa, dan Ia adalah Pribadi yang rendah hati
di hadapan Allah Bapa-Nya. Arti rendah hati adalah mau tunduk di hadapan Allah
dan mau menaati-Nya. Kalau kita mau belajar dari Yesus dan mau
melakukan segala perintah-Nya, maka kita akan menerima ketenangan, kelegaan dan
penghiburan yang sejati dalam hidup ini.
[1] Sudah sejak lama Injil
Matius dikenal sebagai Injil Gereja, dan hanya Injil ini yang menggunakan kata
Gereja (ekklesia) untuk menggambarkan
komunitas orang-orang percaya (Mat. 16:18; 18:17). Lihat M. Eugene Boring, “Dalam
Matthew-Mark,” dalam The New
Interpreter’s Bible.Vol. VIII, peny.. Leander E. Keck dkk (Nashville: Abingdon, 1995), 97. Raymond E. Brown lebih lanjut mengatakan
bahwa Injil Matius dianggap cocok untuk memenuhi aneka macam kebutuhan Gereja.
Injil ini paling banyak digunakan dalam liturgi dan paling sering digunakan untuk
katekese. Lihat Raymond E. Brown, Gereja
yang Apostolik (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 138.
[2] Identitas penulis
kitab ini tidak dapat diketahui dengan pasti. Pencantuman nama Matius, pemungut
cukai yang menjadi pengikut Yesus (Mat. 9:9-13; 10:6) sebagai penulis kitab ini
sebenarnya berasal dari tradisi gereja. Papias, seorang pujangga Gereja, menulis sekitar tahun 110/120 M bahwa Matius menyusun perkataan-perkataan Yesus
dalam bahasa Ibrani (ialah bahasa Aram). Tradisi yang menyebutkan bahwa penulis
Injil ini adalah Matius murid Yesus telah diragukan keabsahannya oleh sebagian
besar ahli PB. Alasannya adalah Injil Matius yang ada sekarang tidak ditulis
dalam bahasa Ibrani/Aram, tapi dalam bahasa Yunani yang cukup baik. Selain itu kalau benar
dugaan bahwa Matius adalah saksi mata
kehidupan dan pekerjaan Yesus, mengapa ia masih sangat bergantung pada bahan
lain (yaitu Markus dan Q) untuk menyusun Injilnya. Lihat C. Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1989),
86-87.
[3] Marxsen mengajukan
sebuah kemungkinan bahwa kitab ini berasal dari Pela, yang terletak di sebelah
timur Yordan. Pela menjadi tempat pertemuan yang baru bagi komunitas Kristen
Yahudi setelah mereka melarikan diri dari Yerusalem tak lama sebelum kehancuran
kota itu pada tahun 70 M. Lihat Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru (Jakarta: BPK GM, 1996), 184.
Komentar
Posting Komentar