Pandangan Yahudi dan Yunani tentang Kebangkitan Yesus dan Orang Mati
Pendahuluan
Isu kebangkitan Yesus dan kebangkitan orang mati terkait erat dengan pandangan orang Yahudi dan Yunani
pada zaman Perjanjian Baru. Bagaimana orang Yahudi dan Yunani memahami ajaran
kebangkitan orang mati secara umum dan kebangkitan Yesus secara khusus? Tulisan
ini berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dengan menggali dan menganalisis sumber-sumber yang
tersedia.
Pandangan Yahudi
Pandangan tentang
kebangkitan orang mati sudah ada dalam kehidupan orang Yahudi jauh sebelum kekristenan
muncul. Bagaimana pandangan seperti ini bisa muncul dalam pemikiran dan
keyakinan orang-orang Yahudi pada masa itu? Dan sejauh mana
pandangan ini berpengaruh terhadap iman dan pemberitaan gereja mula-mula yang sungguh-sungguh meyakini bahwa Yesus benar-benar telah bangkit dari kematian?
Diperkirakan pandangan
Yahudi tentang kebangkitan orang mati muncul dalam era dan konteks sejarah tertentu,
yaitu tepatnya pada periode akhir dari Yudaisme bait Allah kedua. Pandangan ini
lahir dari suatu keadaan tertentu, yaitu ketika bangsa Yahudi mengalami
penjajahan atau penindasan oleh kekuatan bangsa-bangsa asing (Yunani, Roma)
selama berabad-abad. Sebagian rakyat mengharapkan bahwa Allah akan mendirikan
kerajaan-Nya di bumi dan memulihkan keadaan Israel. Berada di bawah himpitan penjajahan
bangsa asing mendorong orang Yahudi untuk mengembangkan suatu bentuk kesalehan
yang disebut “eskatologi pemulihan.” Eskatologi ini lahir dan berkembang selama
masa pembuangan di Babel pada abad ke-6 sM maupun sesudah masa pembuangan. Dari
pengalaman buruk itu, bangsa Yahudi belajar untuk percaya bahwa Allah tidak
tinggal diam, melainkan akan memulihkan keadaan mereka. Pada akhirnya semua
musuh Israel akan dikalahkan, pemerintahan Allah akan ditegakkan, bahkan
orang-orang mati akan dibangkitkan dan diadili oleh Allah (bdk. Yes. 26:19 dan
Dan. 12:2-3) (Madigan dan Levenson 2008, 4-6).
Ide
tentang kebangkitan orang mati ini sangat berkaitan erat dengan kepercayaan
orang-orang Yahudi sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci mereka,
khususnya kepercayaan tentang Allah sebagai pencipta kehidupan dan sebagai pemenang
atas kematian. Allah adalah pemilik kehidupan dan kematian merupakan musuh Allah
(Setzer 2004, 10-11). Claudia Setzer
mengungkapkan lebih lanjut bahwa pada periode Helenisme berkembang ide tentang
upah yang akan diberikan Allah kepada orang benar di masa yang akan datang. Ide
ini tertanam secara kuat dalam kesadaran orang-orang Yahudi yang sedang
mengalami penderitaan akibat penindasan bangsa asing pada masa itu. Yang
dimaksudkan dengan upah di sini adalah suatu gambaran tentang kebangkitan
secara fisik dan rohani. Gambaran ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab non
kanonik (1 Henokh, Perjanjian Musa, 2 Barukh dll). Sebagai
contoh adalah kitab 2 Makabe yang berasal dari abad ke-2 sM. Kitab ini hadir di
tengah-tengah konteks penindasan bangsa Yahudi pada masa kekuasaan Antiokhus
Epifanes. 2 Makabe 7:9 berbunyi sbb: “Ketika sudah hampir putus nyawanya
berkatalah ia: "Memang benar kau, bangsat, dapat menghapus kami dari hidup
di dunia ini, tetapi Raja alam semesta akan membangkitkan kami untuk kehidupan
kekal, oleh karena kami mati demi hukum-hukum-Nya!" Dalam kitab ini, ide tentang kebangkitan fisik menjadi
sangat jelas. Allahlah yang akan membangkitkan kembali tubuh orang benar yang
telah binasa dengan kuat kuasa-Nya (Setzer 2004, 11-12).
Di
samping membicarakan kebangkitan orang mati, kitab-kitab ini juga
menggambarkan penghukuman Allah. Dalam konteks penghukuman di akhir zaman,
Allah akan memisahkan orang baik dan orang jahat menurut perbuatan mereka
masing-masing. Orang baik akan dibangkitkan dari kematian dan menikmati
kehidupan abadi bersama Allah, sedangkan orang jahat/fasik akan dibangkitkan
untuk menerima hukuman kekal dari Allah (Setzer 2004, 13). Tema kebangkitan
sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Yahudi pada masa itu karena hal
tersebut sangat berkaitan erat dengan fondasi iman/keyakinan mereka. Jantung
iman Yahudi terletak pada keyakinan utama akan kebaikan, keadilan dan
kekuasaan Allah Israel. Di sepanjang sejarah suci Israel, diceritakan bahwa
Allah Israel adalah Allah yang turut campur tangan dan turut menentukan arah
kehidupan umat-Nya. Ia senantiasa datang untuk menghadirkan zaman baru dan memberikan
pemulihan kepada umat-Nya. (Madigan dan
Levenson 2008, 7).
Jadi
berdasarkan pengharapan eskatologis tersebut, orang-orang Yahudi mengembangkan
suatu ide bahwa orang-orang yang telah mati karena mempertahankan imannya
(martir) akan dihidupkan kembali oleh Allah di akhir zaman. Sedangkan
bangsa-bangsa lain yang telah menindas bangsa Yahudi dianggap sebagai
orang-orang fasik yang akan mengalami kebinasaan oleh hukuman Allah yang
dahsyat. John Drane menjelaskan lebih lanjut bahwa pengharapan apokaliptik ini
menjadi sangat populer di kalangan masyarakat Yahudi menjelang kedatangan
Yesus. Pengharapan apokaliptik ini sangat nyata dan dapat dijumpai dalam
berbagai tulisan pada masa itu. Pada intinya tulisan-tulisan yang mengandung
semangat apokaliptik ini muncul sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
krusial, seperti: mengapa kesetiaan terhadap agama tidak membawa kemakmuran?
Mengapa orang baik dan setia harus menderita, bahkan mati? Mengapa Allah tidak
menghentikan kuasa-kuasa kejahatan di dunia ini? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan sulit ini, para penulis apokaliptik mengatakan bahwa
kesulitan-kesulitan masa kini hanya bersifat sementara saja. Dalam terang
kebaikan Allah, mereka meyakini bahwa pada akhirnya bukan kejahatan yang
berjaya tetapi kebaikan dan keadilanlah yang akan menang (Drane 2011, 47-48).
Dan karena itu, kebangkitan orang mati merupakan bukti yang nyata dari kebaikan
dan keadilan Allah kepada manusia.
Ide
tentang kebangkitan orang mati memang telah ada dalam kehidupan orang-orang
Yahudi sebelum kelahiran Yesus. Namun dalam kenyataannya kita tahu bahwa tidak
semua orang Yahudi menerima ide tersebut. Pada zaman Yesus kelompok Farisi
menerima ide ini, tetapi kelompok Saduki menolaknya sama sekali (Mrk. 12:18;
lihat juga Kis. 4:1-2). Alasan penolakan kelompok Saduki ini adalah karena
doktrin kebangkitan tidak pernah diajarkan dalam kitab-kitab Taurat/Pentateukh.
Para murid Yesus sendiri sempat ragu terhadap persoalan
ini (lihat Mrk. 9:10) (Jansen 1980, 19-20). Drane mengatakan bahwa secara
politik kelompok Saduki lebih konservatif, namun dalam soal agama mereka lebih
reaksioner. Mereka menganggap bahwa kelima kitab Taurat Musa merupakan
satu-satunya sumber pengajaran agama yang berwibawa dan menolak kitab-kitab
Perjanjian Lama yang lain. Pada intinya mereka tidak percaya bahwa Allah
mempunyai tujuan di balik peristiwa-peristiwa sejarah, dan hal-hal seperti
hidup kekal, kebangkitan orang mati, dan penghakiman terakhir menjadi tidak
relevan bagi mereka (Drane 2011, 41-42).
Penolakan
kaum Saduki terhadap ide kebangkitan memang sangat beralasan, sebab dalam
seluruh pentateukh tidak disebutkan sama sekali secara khusus tentang
pengharapan akan kehidupan sesudah mati. Yang ada dalam pentateukh hanyalah ide
tentang Syeol (dunia orang mati). Dalam Kejadian 37:35 Yakub
mengungkapkan harapannya bahwa ia akan melihat Yusuf di Syeol, dan
kelihatannya itulah tujuan akhir dari kehidupan sesudah mati seperti yang
diharapkannya. Ide tentang kebangkitan orang mati baru muncul dan berkembang
luas dalam pemikiran Israel bukan sebelum masa pembuangan tetapi pada masa
pembuangan dan sesudahnya (Guthrie 1996, 427). Bagaimana
dengan kaum Zelot dan Eseni? Karena kaum Zelot memiliki kepercayaan agama yang agak mirip dengan kaum
Farisi (Drane 2011, 44), maka mungkin saja mereka juga percaya akan kebangkitan
orang mati. Sikap mereka yang berani dan tidak takut mati dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsa Yahudi memberi petunjuk ke arah tersebut. Kaum Eseni yang berpusat di Qumran kemungkinan meyakini
akan kebangkitan orang mati. Namun berdasarkan telaah atas Naskah-naskah Laut
Mati para ahli menyimpulkan bahwa kaum Eseni berpegang hanya pada gagasan
ketidakfanaan dan bukan pada gagasan kebangkitan tubuh. Beberapa pihak
berasumsi bahwa pandangan persekutuan di Qumran tidak jelas, sebab beberapa
perikop mengungkapkan tentang kepercayaan akan keberadaan yang akan datang,
namun tidak dikaitkan dengan kepercayaan akan kebangkitan tubuh. Bisa saja
pandangan kelompok Qumran ini masih dekat dengan pandangan Yahudi kuno tentang Syeol
(dunia orang mati) (Guthrie 1996, 428-429).
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ide tentang kebangkitan orang mati baru
muncul pada masa pembuangan dan sesudahnya dalam masyarakat Yahudi. Namun tidak
semua golongan dalam masyarakat Yahudi meyakini dan menerima ide tersebut. Lalu
bagaimana hubungan antara kebangkitan Yesus dengan pandangan umum orang Yahudi
tentang kebangkitan orang mati? Apakah kebangkitan Yesus memiliki keunikan
dibandingkan dengan pandangan umum orang Yahudi ataukah tidak ada sama sekali?
Penjelasan C. Groenen di bawah ini mungkin sedikit membantu kita untuk melihat
persamaan dan perbedaan di antara keduanya.
Gagasan tentang kebangkitan orang
mati pada zaman Yesus sudah cukup lazim di kalangan orang Yahudi (Dan. 12:1;
2Mak. 7:7-9). Gagasan ini dianut terutama oleh kalangan apokaliptis. Namun
demikian ajaran ini belum juga menjadi ajaran yang umum dan sebuah dogma yang
resmi. Misalnya: kaum Saduki tidak menerimanya (Mat. 22:23; Kis. 4:2).
Kepercayaan Yahudi ini kemudian diambil alih baik oleh Yesus sendiri maupun
umat Kristen (Mrk. 12:25; Luk. 14:14; Kis. 23:6; 24:25). Dengan demikian
gagasan kebangkitan merupakan sebuah kategori pemikiran yang dipinjam oleh umat
Kristen dari alam pemikiran Yahudi untuk menerangkan pengalaman yang umat alami
bersama Yesus yang dahulu mati, tetapi sekarang hidup. Jadi pengalaman unik ini
ditangkap dan diungkapkan oleh umat dengan memakai suatu gagasan yang sudah sudah
cukup tradisional pada masa itu. Meskipun demikian orang Kristen mula-mula
tetap meyakini bahwa kebangkitan Yesus adalah sesuatu yang unik yang tidak
mungkin disamakan begitu saja dengan gagasan-gagasan apokaliptik Yahudi. Orang Yahudi
memang percaya akan kebangkitan orang mati pada hari kiamat, tetapi kategori
eskatologis ini tidak dapat diterapkan pada diri Yesus, sebab Ia sudah bangkit
sebelum hari kiamat. Ada juga beberapa tokoh yang menurut keyakinan orang
Yahudi hidup terus (Henokh, Elia dll), tetapi tokoh-tokoh ini tidak bangkit
dari alam maut, melainkan diangkat ke sorga sebelum menemui ajalnya. Jadi
agaknya kebangkitan Yesus harus dilihat sebagai sesuatu yang unik dan lain sama
sekali. Kebangkitan Yesus dikatakan unik, sebab ia merupakan karya Allah
semata-mata yang tidak dapat disamakan dengan unsur-unsur alam atau dunia
(Groenen 1973, 17-18,25).
Oleh karena sebagian besar orang
Kristen mula-mula adalah orang-orang Yahudi maka wajar saja apabila mereka
memakai tradisi kitab suci PL, khususnya tradisi apokaliptik, untuk
menggambarkan dan menerangkan iman mereka kepada Kristus yang bangkit. Dalam
peristiwa kebangkitan tersebut, gereja mula-mula melihat bahwa tujuan dan
penyempurnaan iman Israel kepada Allah telah digenapi di dalam diri Yesus.
Allah yang diberitakan dalam PL adalah Allah yang berkuasa atas kehidupan dan
kematian (1Sam. 2:6), sebab itulah Yesus dibangkitan dan menjadi pemenang atas maut
(Jansen 1980, 21-22).
Pandangan Yunani
Pandangan Yunani tentang
kebangkitan orang mati tidak dapat dipisahkan dari pandangan filsafat Yunani
yang bersifat dualistik. Filsafat Yunani ini sangat bertolak belakang dengan
ajaran Yahudi tentang manusia. Ajaran Yahudi melihat manusia terdiri dari
daging dan darah, tubuh dan jiwa. Namun kedua unsur ini tidak untuk dipisahkan dalam arti
bahwa jiwa itu abadi dan tubuh itu tidak penting. Jiwa (nafas) adalah unsur
yang memberi kehidupan pada tubuh. Allahlah menghembuskan nafas kehidupan ke
dalam tubuh yang mati (Kej. 2:7) (Marxsen 1979, 133). Sebaliknya pandangan
Yunani sangat mempertentangkan secara tajam antara tubuh dan jiwa. Jiwa
dianggap mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada tubuh. Tubuh dianggap
sebagai sesuatu yang jahat, tidak baik dan tidak bernilai, bahkan dilihat
sebagai penjara bagi jiwa yang bersifat murni. Dalam beberapa
hal filsafat Yunani yang bersifat dualistik ini sangat bertentangan dengan
keyakinan Kristen, misalnya saja para penulis PB justru sangat menekankan sifat
kemanusiaan Yesus Kristus. Injil Yohanes menekankan bahwa Firman Allah yang
bersifat kekal itu telah menjelma/menjadi manusia (Yoh. 1:14). Dalam
menceritakan kebangkitan Yesus pun, para penulis PB berupaya memperlihatkan
sifat ragawi/fisik dari kebangkitan Yesus. Sebab itu terdapat cerita tentang
kubur yang kosong, penampakan Yesus di hadapan para murid di mana mereka dapat
menyentuh tubuh Yesus, dan Yesus yang makan bersama dengan murid-murid-Nya.
Menurut Marxsen penggambaran kebangkitan Yesus yang bersifat fisik ini lebih
condong pada ajaran Yahudi (Marxsen 1979, 135). Ide tentang kebangkitan tubuh/fisik tidak dikenal (asing) bagi pemikiran orang-orang Yunani. Yang justru
diakui oleh mereka bukanlah kebangkitan
tubuh tetapi kekekalan/keabadian jiwa (Guthrie 1996, 429). Berita kebangkitan Yesus
adalah inti dari iman dan kehidupan Kristen. Justru karena berita kebangkitan
ini begitu penitng, sehingga para pemberita Kristen mula-mula tanpa rasa takut pergi
untuk mewartakannya. Inti pewartaan mereka berpusat pada peristiwa kematian dan
kebangkitan Yesus. Bahwa Dia yang telah disalibkan oleh orang-orang Yahudi
telah dibangkitkan dari antara orang mati (Kis. 2:24) dan bahwa Allah telah
menjadikan Dia menjadi Tuhan dan Kristus (Kis. 2:36) (Guthrie 1996, 430).
Berita kebangkitan ini tidak ditujukan
kepada orang-orang Yahudi saja, tetapi juga kepada orang-orang non Yahudi
(Yunani). Namun tidaklah mudah bagi orang-orang Yunani untuk mempercayai
fakta kebangkitan Yesus karena adanya ketidakpercayaan mereka terhadap
kebangkitan tubuh. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa orang-orang Yunani
hanya mempercayai keabadian jiwa, dan bukan kebangkitan tubuh. Kisah Para Rasul
17: 16 dst menceritakan bagaimana orang-orang Yunani menolak berita kebangkitan
Yesus seperti yang disampaikan Rasul Paulus ketika ia berada di Athena. Kisah
Para Rasul 17: 31-32 menceritakan sbb:
“...Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan
menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan
kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari
antara orang mati. Ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, maka
ada yang mengejek, dan yang lain berkata: “Lain kali saja kami mendengar engkau
berbicara tentang hal itu.”
Walaupun
Paulus merupakan seorang Yahudi Helenis, akan tetapi ia memahami makna
kebangkitan Yesus bukan dari filsafat Yunani, tetapi dari sudut pandang agama
Yahudi. Bagi Paulus kebangkitan Yesus menghasilkan keselamatan bagi manusia.
Dalam perspektif yang holistik, ia melihat bahwa realitas keselamatan bukan
suatu realitas asing yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, bukan suatu
realitas yang hanya ada dalam diri seseorang (the inner life of a person).
Keselamatan itu merangkul dan mencakup seluruh eksistensi (keberadaan) manusia.
Prinsip inilah yang juga diterapkan Paulus ketika ia berbicara tentang
kebangkitan Kristus dan kebangkitan orang mati. Bagi Paulus, kehidupan harus
dilihat secara utuh dan melibatkan tidak hanya sebagian dari eksistensi
manusia, tidak hanya roh atau jiwa, tetapi seluruh dirinya yang utuh, termasuk
eksistensi tubuhnya. Berdasarkan alasan inilah, ia kemudian berbicara tentang
kebangkitan tubuh (1Kor. 15) dan bukan keabadian jiwa/roh (Lampe 2002, 105).
Apa
konsekuensi dari ajaran Paulus ini? Konsekuensi yang paling nyata adalah bahwa
manusia perlu juga menghargai tubuh/hal-hal jasmani dan bukan hanya hal-hal
yang rohani belaka. Berdasarkan argumentasi dalam surat-suratnya kita bisa
melihat bahwa Paulus sangat menentang perlakuan yang buruk terhadap tubuh.
Tubuh adalah bagian dari eksistensi manusia yang utuh, yang telah diciptakan Allah
dengan baik. Umat dipanggil untuk mempersembahkan tubuhnya kepada Allah sebagai
korban persembahan yang kudus dan berkenan kepada Allah (Rm. 12:1). Dalam hal
ini pandangan Kristen sangat menghargai tubuh, dan sangat bertolak belakang
dengan pandangan filsafat Yunani yang justru menghina/melecehkan tubuh. Sikap
amoral muncul dalam kehidupan orang-orang Yunani disebabkan karena mereka
menganggap tubuh itu tidak penting, sehingga dapat diperlakukan dengan sesuka
hati. Praktek percabulan dan perzinahan yang melibatkan tubuh dianggap sebagai
hal yang biasa saja karena yang terpenting bagi mereka bukan tubuh melainkan
roh/jiwa. Tubuh akan binasa sedangkan roh/jiwa akan selamat, demikianlah
anggapan mereka. 1 Korintus 15 memperlihatkan pemikiran Paulus yang matang
tentang arti kebangkitan Yesus dan kebangkitan orang mati. Di situ Paulus
membuat perbedaan yang jelas antara tubuh manusia saat ini dengan tubuh rohani
di masa depan. Tubuh rohani itu akan dikenakan manusia melalui proses
kebangkitan di akhir zaman. Kebangkitan itu tidak sama dengan peristiwa
penghidupan kembali Lazarus oleh Yesus seperti yang diceritakan dalam Injil
Yohanes (11:17-44). Lazarus dibangkitkan dari kematian tetapi ia akan meninggal
lagi. Eksistensi tubuh rohani yang disampaikan Paulus ini sangat jauh berbeda
dengan eksistensi tubuh kita yang sekarang. Itulah sebabnya Paulus mengatakan:
“...daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah dan bahwa yang
binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa.” (1Kor. 15:50). Jadi
tubuh rohani di masa depan itu merupakan sesuatu yang amat berbeda, tidak
alamiah, ia merupakan sesuatu yang melampaui ciptaan sekarang, dan ia akan
menjadi bagian dari suatu ciptaan baru dengan kemungkinan-kemungkinan yang baru
(Lampe 2002, 106).
Dari
pemaparan di atas, ada beberapa butir pemikiran yang perlu diperhatikan dalam
kaitannya dengan kebangkitan Yesus dan kebangkitan orang mati. Sebagian orang
Yahudi mempercayai kebangkitan orang mati, terkecuali kaum Saduki. Walaupun
demikian orang-orang Yahudi tidak dengan sendirinya mempercayai kebangkitan
Yesus. Kaum Saduki menolak kebangkitan Yesus terutama didasarkan pada keyakinan
mereka (Kis. 4:1-2), tetapi kaum Farisi mempunyai alasan yang lain dalam
menolak kebangkitan Yesus. Jikalau penolakan orang Yahudi didasarkan pada
berbagai alasan, tidak demikian halnya dengan orang Yunani. Penolakan orang
Yunani terhadap kebangkitan Yesus (dan juga kebangkitan orang mati) didasarkan
semata-mata pada faktor ajaran dalam filsafat Yunani yang bersifat dualistik.
Kesimpulan
Gagasan tentang kebangkitan orang mati berasal dari hasil
pemikiran keagamaan orang Yahudi. Gagasan ini muncul dan berkembang pada masa
pembuangan dan sesudah pembuangan, khususnya dalam tradisi apokaliptik. Dalam
gagasan ini terletak inti keyakinan orang Yahudi bahwa Allah Israel adalah
penguasa/Tuhan
atas kehidupan dan kematian. Kendati gagasan ini
sangat penting dalam perkembangan tradisi Yudaisme, namun tidak seluruh orang
Yahudi menerimanya. Kaum Saduki dengan tegas menolak gagasan ini, sedangkan
para murid Yesus sempat meragukan arti/makna kebangkitan. Hal ini terbukti
melalui peristiwa kebangkitan Yesus, di mana para murid merasa takut dan ragu
ketika mereka menyaksikan Yesus yang telah bangkit dari kematian. Memang pada masa Yesus
gagasan kebangkitan sudah cukup populer di kalangan masyarakat Yahudi. Namun demikian peristiwa kebangkitan Yesus dari kematian
jelas memiliki keunikan tersendiri. Kebangkitan Yesus tidak dapat disejajarkan
dengan peristiwa kebangkitan Lazarus karena kebangkitan Yesus memiliki dimensi
kekekalan. Lazarus memang dibangkitkan, namun ia akan meninggal kembali. Sebaliknya
Yesus bangkit dalam suatu kehidupan/eksistensi yang baru, yaitu
kehidupan kekal. Roma 6:9 menyatakan: “Karena
kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati
lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia.”
Pandangan
Yunani justru menolak sama sekali ide tentang kebangkitan orang mati. Bagi
orang Yunani tubuh yang akan binasa ini tidak memiliki nilai sama sekali, hanya
roh/jiwa yang memiliki nilai utama dalam diri manusia. Sebab itu yang diperjuangkan
adalah bagaimana agar roh/jiwa manusia dapat dilepaskan dari kungkungan tubuh.
Yang terpenting bukanlah tubuh tetapi jiwa, karena jiwa bersifat abadi/kekal.
Daftar
Pustaka:
Claudia, Setzer.
The Resurrection of The Body in Early Judaism and Early Christianity.
Doctrine, Community, and Self-Definition. Boston: Brill Academic
Publishers, 2004.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru. Pengantar Historis Kritis. Terj. P.G. Katoppo. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Groenen, C. Kebangkitan.
Ulasan-ulasan mengenai Pembangkitan Yesus Kristus dari Alam Maut serta Maknanya
bagi Umat Manusia Seluruhnya. Ende: Nusa Indah, 1973.
Guthrie,
Donald. Teologi Perjanjian Baru 1. Allah, Manusia, Kristus. Terj. Lisda
Tirtapraja Gamadhi dkk. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Jansen, John
Frederick. The
Resurrection of Jesus Christ in New Testament Theology. Philadelphia:
The Westminster Press, 1980.
Lampe, Peter.
“Paul’s Concept of a Spiritual Body.” Dalam Resurrection. Theological and
Scientific Assessments, peny. Ted Peters, Robert John Russell, Michael
Welker, 103-114. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 2002.
Madigan, Kevin
J, dan Jon D. Levenson. Resurrection. The Power of God for Christians and
Jews. New Haven: Yale University Press, 2008.
Marxsen, Willi. The
Resurrection of Jesus of Nazareth. Philadelphia: Fortress Press, 1979.
Komentar
Posting Komentar