Mengoptimalkan Sinergi
Intergenerasional GPIB dengan Mengembangkan Kepemimpinan Misioner dalam Konteks
Budaya Digital (Efesus 4:11-16)
Oleh: Pendeta Rommi
Matheos
Pendahuluan
Agenda yang menjadi fokus perhatian kita selaku
warga GPIB setiap tahun adalah penyusunan Program Kerja dan Anggaran (PKA),
baik di tingkat jemaat maupun secara sinodal. Di tahun 2022 ini, selain
perhatian kita diarahkan pada penyusunan PKA, ada hal lain yang mendesak untuk
digumuli, yaitu pemilihan presbiter. Dalam kaitan dengan penyusunan PKA, sebagai
warga GPIB kita perlu memperhatikan tema tahun pelayanan 2022. Adapun tema
tahun pelayanan 2022-2023 berdasarkan KUPPG ke-IV adalah: “Mengoptimalkan
Sinergi Intergenerasional GPIB dengan Mengembangkan Kepemimpinan Misioner dalam
Konteks Budaya Digital”. Tema ini didasarkan pada teks Alkitab dari Efesus
4:11-16.
Pada kesempatan ini izinkan saya untuk memaparkan
kajian teologis terhadap tema tahun pelayanan ini. Semoga kajian ini dapat membuka
wawasan warga GPIB sehingga mampu memahami arah pelayanan GPIB di tahun kerja
2022-2023 dan menolong kita untuk berperan secara aktif dalam upaya pertumbuhan
dan pembangunan jemaat.
Tafsir Efesus 4:11-16
Karena tema tahunan ini menyinggung tentang
kepemimpinan misioner, maka kita perlu bertanya: apakah corak kepemimpinan ini
juga disinggung oleh Paulus dalam perikop Efesus 4:11-16? Untuk menjawab
pertanyaan ini, maka kita perlu memperhatikan tafsiran dari Efesus 4:1-16.
Perikop ini dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: Ayat 1-6 berbicara
tentang pentingnya kesatuan Roh; Ayat 7-12 berbicara tentang para pelayan yang
dihadirkan dalam jemaat; Ayat 13-16 berbicara tentang pertumbuhan jemaat/tubuh
Kristus.[1]
Efesus 4:1-16 merupakan perikop yang berisi
nasihat, dan hal ini sudah terlihat di ayat 1: “Sebab itu aku menasihatkan
kamu,…” Jika dalam pasal 1-3 Paulus banyak berbicara tentang karya Allah di
dalam Kristus yang menciptakan masyarakat baru, maka sekarang ia beralih dari
penuturan tentang masyarakat baru kepada penuturan tentang patokan-patokan
baru, dengan harapan warga jemaat akan setia mengindahkannya. Jadi ia beralih
dari apa yang dilakukan Allah (indikatif-waktu sekarang) ke “bagaimana” kita
seharusnya dan apa yang seharusnya kita lakukan (imperatif-perintah, tidak boleh
tidak), dari doktrin[2]
ke kewajiban, dari teologi yang melulu hanya menantang akal, ke penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari (Stott 2003, 139).
Nasihat Paulus ini ditujukan kepada jemaat Efesus,
yaitu anggota-anggota jemaat yang pada permulaan surat ini ia sebut
“orang-orang kudus dan orang-orang percaya” (1:1), yang Tuhan Allah berkati
dengan berkat rohani di dalam sorga (1:3), yang dalam Kristus Ia pilih menjadi
anak-anak-Nya (1:4-5). Anggota-anggota jemaat itu telah dipersatukan meskipun
mereka berbeda-beda. Paulus berkata bahwa oleh darah Kristus orang Kristen bukan
Yahudi telah dipersatukan dengan orang Kristen Yahudi dengan jalan merobohkan
tembok yang memisahkan mereka (2:13-14), sehingga mereka beroleh jalan masuk
kepada Bapa dan menjadi sewarga dengan orang-orang kudus dan anggota-anggota
keluarga Allah (2:18-19) (Abineno 2012, 113-114).
Pada bagian awal dari Efesus 4:1-16 ini hal
kesatuan sangat ditekankan oleh Paulus sebelum ia menjelaskan tentang tugas pelayanan
dan pertumbuhan jemaat. Tanpa kesatuan mustahil jemaat dapat mengembangkan
pelayanannya dan bertumbuh dengan sehat. Paulus mengemukakan empat kebenaran
tentang kesatuan yang Allah inginkan. Keempat kebenaran itu adalah:
1.
Kesatuan
kristiani tergantung pada kemurahan kasih yang tampak dalam
tabiat dan kelakuan kita (ayat 2).
2.
Kesatuan
kristiani timbul dari Allah yang adalah satu (ayat 3-6).
3.
Kesatuan
kristiani diperkaya oleh kepelbagian karunia yang kita peroleh (ayat
7-12).
4.
Kesatuan
kristiani menantang kita untuk bertumbuh menjadi dewasa (ayat 13-16)
(Stott 2003, 141-142).
Secara khusus Efesus 4:11-16 memperlihatkan maksud/tujuan
pemberian karunia Allah, khususnya bagi kehidupan dan pertumbuhan jemaat. Ayat
11 menjelaskan pemberian yang sudah disebutkan di ayat 8 (“…Ia memberikan pemberian-pemberian
kepada manusia). Pemberian yang dimaksud adalah para pelayan yang meliputi
rasul-rasul (τοὺς ἀποστόλους),
nabi-nabi (τοὺς προφήτας), pemberita-pemberita
injil, (τοὺς
εὐαγγελιστάς), gembala-gembala (τοὺς ποιμένας),
dan pengajar-pengajar (διδασκάλους).
Di urutan pertama dicantumkan para rasul, dan hal
ini mengingatkan kita pada 12 murid Yesus. Mereka adalah orang-orang yang
pertama dipanggil untuk mengikut Yesus, namun istilah rasul tidak hanya
menunjuk pada 12 murid. Dalam Kisah Para Rasul 14:4,13 Paulus dan Barnabas juga
disebut rasul. Mereka disebut rasul-rasul karena telah melihat Kristus dan
menjadi saksi kebangkitan-Nya (Abbott 1956, 117). Baik rasul-rasul maupun
nabi-nabi adalah jabatan pelayanan yang menjadi dasar, yang di atasnya rumah
Allah (jemaat) dibangun (2:20). Para nabi adalah orang-orang yang menerima
penyataan dari Allah (Roh Kudus) dan yang meneruskannya kepada jemaat,
sedangkan pemberita Injil berkaitan erat dengan rasul-rasul. Rasul-rasul itulah
yang memberikan tugas pemberitaan Injil kepada beberapa orang yang disebut
penginjil, misalnya Filipus (Kis. 8:12) dan Timotius (2Tim. 4:5).
Sedangkan gembala-gembala dan pengajar-pengajar
diberi tugas untuk mengatur, memimpin dan melayani jemaat. Menurut Kisah Para
Rasul 13:1 dyb, tugas para pengajar ialah menerangkan wahyu yang diterima oleh
nabi-nabi kepada jemaat dengan bahasa yang biasa (maksudnya: bahasa yang
terang, bukan “bahasa-nubuat”), menguji apakah “ilham nabi-nabi itu benar, sesuai
dengan Injil dan kesaksian Perjanjian Lama” (Abineno 2012, 131-133).
Seluruh pelayan ini adalah hamba Kristus yang dihadirkan
untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan (ἔργον διακονίας), bagi pembangunan tubuh Kristus (οἰκοδομὴν τοῦ σώματος τοῦ Χριστοῦ)
(ayat 12). Istilah “tubuh” Kristus dipakai Paulus sebagai gambaran tentang jemaat
dengan maksud untuk memberi pemahaman bahwa “tubuh” bukanlah sesuatu yang tidak
bergerak atau tak berubah. Dalam kerangka pengertian tubuh inilah muncul
gagasan “membangun” (dalam pengertian mekanis) dan “bertumbuh” (dalam
pengertian organis) yang diharapkan terjadi dalam hidup jemaat.
Jadi orang-orang kudus diperlengkapi untuk
melaksanakan pekerjaan pelayanan sehingga tercapai tujuan Allah, yaitu “pembangunan
tubuh Kristus”. Kata “pelayanan” (diakonia) yang terdapat pada ayat 12
memiliki arti pekerjaan pelayanan awam, yaitu pekerjaan yang melibatkan segenap
umat Allah tanpa kecuali. Ayat ini membuktikkan pandangan bahwa menurut
Perjanjian Baru, tugas pelayanan dalam jemaat bukan hanya tugas para penatua,
diaken atau pendeta, tapi adalah juga “tugas-wajib” segenap anggota umat Allah.
Para pendeta atau gembala jemaat, dalam hal ini, bertugas untuk mendorong
setiap anggota jemaat dalam menemukan, mengembangkan dan menerapkan
karunia-karunianya. Pendeta tidak mungkin mampu menangani segala sesuatu dalam
jemaat. Karena itu, ia wajib mendorong umatnya setia aktif melayani dengan
rendah hati dalam dunia ini, yang penuh dengan alienasi dan derita (Stott 2003,
161).
Jadi segenap anggota umat Allah diperlengkapi
untuk melayani dan membangun tubuh Kristus. Ada tiga hal yang terjadi sebagai dampak
dari pekerjaan pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus, yaitu: (i) tubuh
Kristus tetap hidup dalam kesatuan (ayat 3-6), (ii) umat semakin bertumbuh
dalam kasih (ayat 16), (iii) umat semakin bertumbuh menyerupai Kristus (ayat
13). Itulah tujuan dan sekaligus pengharapan yang pada suatu hari akan dicapai.
Dengan perkataan lain, tujuan jemaat ialah mencapai kedewasaan penuh dalam
kesatuan iman sebagai dampak dari pengetahuan yang benar tentang Kristus,
percaya dan bertumbuh dalam Kristus (Stott 2003, 161).
Ungkapan Paulus bahwa jemaat harus terus bertumbuh
mengingatkan kita bahwa jemaat masih dalam proses atau belum sampai kepada
tujuan (1Kor.13:12). Karena itu, seluruh jemaat harus bersinergi (bekerja
bersama-sama) dan erat bersatu untuk mencapai tujuan bersama (ayat 13). Seluruh
jemaat dipanggil untuk memelihara kesatuan iman dan tetap setia berpegang
kepada kebenaran di dalam kasih, sehingga tidak mudah terombang-ambing (ayat
14). Kasih dan kebenaran adalah dua hal yang menjadi ciri kehidupan umat Tuhan.
Dan tidak ada jalan untuk mencapai kedewasaan dalam Kristus kecuali panggilan
untuk berjalan atau hidup di dalam kasih dan kebenaran.
Kasih dan kebenaran itu pertama-tama harus terlihat
dalam kehidupan umat sebab umat adalah entitas baru yang telah diciptakan dalam
Kristus. Borg menyebut bahwa hidup dalam Kristus mempunyai implikasi-implikasi
sosial yang bersifat konkrit sebab kemanusian baru dalam Kristus menumbangkan
dan meniadakan batasan/sekat sosial, sehingga mereka yang ada “dalam Kristus” telah
menjadi satu tubuh (Borg 2002 , 250).
Dalam satu tubuh seluruh umat dipanggil untuk melaksanakan
misi Allah, dan hal inilah yang sangat ditekankan oleh Paulus dalam perikop ini,
khususnya terkait dengan tugas kepemimpinan (oleh rasul, nabi, pemberita Injil,
gembala dan pengajar). Mereka ditugaskan untuk memperlengkapi seluruh umat
dalam melaksanakan misi Allah di tengah-tengah dunia ini. Kepemimpinan misioner
adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan dan memberdayakan seluruh warga
jemaat sebagai ujung tombak terdepan dalam melaksanakan misi Allah.
Tantangan Gereja: Sinergi dan Kepemimpinan serta Dunia
Digital
Berdasarkan tema tahun pelayanan yang sudah
disebutkan di atas, maka kita bisa membedakan dua tantangan yang senantiasa dihadapi
oleh gereja, yaitu tantangan dari dalam (internal) dan tantangan yang berasal
dari luar (eksternal). Tantangan dari dalam terkait dengan tugas kepemimpinan
dan upaya untuk men-sinergikan seluruh anggota jemaat yang memiliki latar
belakang yang berbeda-beda, terutama menyangkut perbedaan generasi (setiap
generasi memiliki perbedaan dalam beberapa hal, misalnya: pola pikir,
kebiasaan, persepsi, ekspektasi dll; yang seringkali sulit untuk dipersatukan).
Sedangkan tantangan dari luar adalah perkembangan
dunia yang semakin modern dan maju, khususnya di bidang teknologi. Kedua
tantangan ini tidak bisa diabaikan, melainkan harus diperhatikan agar gereja
sebagai pelaksana misi Allah tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman karena
gereja hadir untuk menjadi garam dan terang dunia. Namun demikian gereja harus
tetap setia berpegang pada kebenaran Injil sebagaimana yang ditradisikan oleh
para rasul dalam kitab suci. Dalam Efesus 4:15 Paulus menasihatkan agar seluruh
jemaat “…teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di
dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.”
Dalam upaya menyikapi tantangan yang berasal dari
dunia ini, maka dalam Efesus 4:11-16 Paulus sangat menekankan kesatuan umat.
Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan yang tidak mungkin dapat mengabaikan
perbedaan.[3]
Justru kesatuan itu membuka ruang bagi perbedaan, dan bukan untuk
meniadakannya. Sinergi tidak akan mungkin terwujud selama tidak ada kesediaan
untuk menerima perbedaan dan membuka ruang bagi yang lain. Di tengah perbedaan
yang ada kita ditantang untuk mengupayakan kesatuan sehingga diharapkan seluruh
umat mampu bertumbuh bersama dalam kedewasaan iman. Jadi upaya sinergi di
antara warga jemaat yang berbeda harus dimulai dari sikap saling menerima dan
mengasihi sebagai anggota tubuh Kristus.
Dalam tubuh yang satu itu Tuhan mengaruniakan
berbagai karunia kepada setiap orang, untuk memperlengkapi mereka dalam upaya untuk
membangun tubuh Kristus. Tubuh Kristus itu benar-benar dapat berfungsi apabila
setiap anggota mau menjalankan perannya, namun bukan dalam keterasingan (isolasi),
melainkan dalam kesatuan yang saling menopang dan meneguhkan. Seluruh anggota
tubuh Kristus dipanggil untuk bersinergi, sehingga mereka “rapi tersusun dan
diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar
pekerjaan tiap-tiap anggota…” (ayat 16). Dalam mewujudkan sinergi di antara
anggota tubuh Kristus dan untuk kepentingan pertumbuhan sebagai tubuh Kristus,
maka tidak ada tempat bagi sifat pementingan diri sendiri, sebab yang Ia
kehendaki adalah sifat rendah hati, lemah lembut dan sabar (4:2).
Jadi upaya penguatan ke dalam gereja harus menjadi
fokus utama sebelum gereja mampu menjawab tantangan zaman, khususnya dalam
konteks dunia digital. Gereja harus mampu membaca tanda-tanda zaman sebab ia hadir
di tengah-tengah dunia yang terus berubah, khususnya dalam hubungannya dengan perkembangan
teknologi yang sangat berdampak pada diri manusia dengan segala aspek
kehidupannya. Pada era digital seperti ini, manusia secara umum memiliki gaya
hidup yang tidak bisa dilepaskan dari perangkat yang serba elektronik.
Teknologi menjadi alat yang dapat membantu sebagian besar kebutuhan manusia.
Teknologi telah digunakan oleh manusia untuk mempermudah dalam melakukan tugas
dan pekerjaannya. Peran penting teknologi inilah yang membawa peradaban manusia
memasuki era digital (Setiawan 2017, 1).
Era digital telah membawa berbagai perubahan yang
baik sebagai dampak positif, namun dalam waktu yang bersamaan, era digital juga
membawa banyak dampak negatif, sehingga menjadi tantangan baru dalam kehidupan umat
manusia, termasuk bagi persekutuan umat Tuhan. Segala dampak negatif harus
mampu dihadapi dan diatasi oleh gereja, sebab gereja ditugaskan untuk
menggarami dunia, bukan justru digarami oleh dunia ini. Jadi gereja ditantang
untuk bersikap terbuka terhadap segala perubahan dan perkembangan zaman, namun
tetap kritis. Gereja tidak boleh menutup diri dengan perkembangan dunia,
melainkan harus mampu memanfaatkan segala kemajuan yang ada demi mewujudkan
misi Allah, sebab dunia digital dengan semua perangkatnya merupakan sarana
penunjang yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pemanfaatan dunia digital
tentu tidak dapat dilepaskan juga dari sumber daya manusia. Karena itu, dalam
konteks GPIB perlu diperhatikan juga pembinaan terhadap sumber daya manusia,
khususnya terhadap generasi muda yang lebih ‘smart’ dalam penguasaan teknologi.
Perlu diingat bahwa merekalah yang akan melanjutkan tugas pelayanan dan kepemimpinan
dalam gereja. Pembinaan yang terkait dengan soal etika pemanfaatan perangkat
elektronik juga harus diperhatikan demi mengurangi dampak negatif dari budaya
digital.
Penutup
Mengoptimalkan sinergi intergenarasional merupakan
tantangan yang perlu dicermati sebelum gereja dapat menjawab tantangan
eksternal. Sebab itu, peran kepemimpinan misioner, sebagaimana yang diungkapkan
dalam Efesus 4:11-16, perlu mendapat perhatian. Kepemimpinan misioner bukan
merupakan kepemimpinan tunggal, melainkan kepemimpinan bersama. Model
kepemimpinan ini memberi ruang bagi seluruh warga jemaat untuk memberdayakan
seluruh potensi yang ada dalam rangka memperlengkapi mereka bagi pekerjaan
pelayanan dan pembangunan tubuh Kristus.
Dengan
adanya pembinaan berkelanjutan, diharapkan seluruh elemen jemaat dapat
bersinergi dalam melaksanakan misi Allah yang membebaskan, khususnya di tengah
konteks dunia digital yang telah membawa perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan manusia. Dalam kaitan dengan penyusunan PKA diharapkan upaya
“Mengoptimalkan Sinergi” ini dapat diaplikasikan dalam setiap program kerja
yang, tentunya dijiwai dengan semangat kepemimpinan misioner, sehingga sebagai
umat Tuhan kita mampu menjawab pergumulan, khususnya di dalam konteks dunia
digital.
Daftar Acuan
Abineno, J. L. Ch. 2012. Tafsiran Alkitab Surat
Efesus. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Borg, Marcus J. 2002. Reading The Bible Again
for The First Time. San Fransisco: HarperCollins.
Brown, Raymond E. 1998. Gereja yang Apostolik.
Yogyakarta: Kanisius.
Stott, John R. W. 2003. Efesus. Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.
Abbott, T. K. 1956. The International Critical
Commentary. A Critical and Exegetical Commentary on The Epistles to The
Ephesians and to The Colossians. Edinburgh: T. & T. Clark.
Wawan Setiawan. Era Digital dan Tantangannya. eprints.ummi.ac.id/151/2/1. Era
Digital dan Tantangannya.pdf · PDF file (diakses 20 Januari 2022).
[1] Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus
adalah gambaran yang populer dalam pemikiran sebagian besar orang Kristen.
Gambaran tubuh Kristus mau mempribadikan gereja dan meneguhkan kasih kita
kepadanya (gereja) seperti diteladankan oleh Kristus yang mengasihi
mempelai-Nya (Brown 1998, 56).
[2] Sebagaimana yang biasa dibuat dalam
surat-suratnya, di sini Paulus beralih dari penjelasan tentang doktrin (doctrinal
exposition) kepada nasihat praktis (practical exhortation) (Abbott
1956, 104).
[3] Kesatuan dalam perbedaan ini juga diungkapkan
dalam pemahaman kita tentang doktrin Allah Tritunggal. Allah itu satu, namun
terdiri atas tiga Pribadi yang tidak terpisahkan dan terbagi. Dalam doktrin
Allah Tritunggal kesatuan dan perbedaan tetap dipertahankan dan menjadi model bagi
hubungan antar manusia.
Komentar
Posting Komentar